Rabu, 16 Februari 2011

Bersama Kita Bisa

Bersama kita bisa, itulah motto yang senantiasa disenandungkan oleh Presiden SBY, dalam menghimpun kekuatan politiknya. Kalimat tersebut memang sangat berarti dalam segala hal, baik positif maupun negatif, tergantung ke arah mana yang akan dihimpun. Sudah barang tentu, rakyat berharap kalimat tersebut dipergunakan untuk membangun ekonomi rakyat, guna mendatangkan kesejahteraan bagi segenap bangsa Indonesia.

Namun, dalam perjalanan selama ini motto “bersama kita bisa” lebih mendominasi kepada hal-hal negatif yang merugikan negara dan rakyat. Sejak bergulirnya era reformasi, hampir di setiap daerah terdapat pelaku tindak kejahatan korupsi yang dilakukan para anggota dewan secara bersama-sama, sehingga terbit istilah “korupsi berjamaah”. Atau makan uang rakyat bareng-bareng.
Era reformasi telah mengorbitkan sebuah lembaga yang disebut KPK, khusus dalam mengawasi roda pemerintahan, dan melakukan investigasi terhadap perputaran dan pemberdayaan uang negara. Akibatnya, semakin banyak pejabat dan pelaku tindak kejahatan korupsi yang terjaring, masuk ke hotel prodeo. Namun, para penghuni prodeo ini seolah tak malu dengan perbuatannya yang telah merugikan negara dengan memakan uang rakyat. Justru mereka dapat menikmati istirahat dengan baik dengan segala fasilitas yang memadai dalam hotel prodeo. Mengapa demikian? Karena dalam hal apapun tetap berlaku motto “bersama kita bisa”.

Ironisnya lagi, berkat kebersamaan, telah tercipta seorang tokoh yang tergolong besar, karena kasusnya hingga menerbitkan Inpres, dialah Gayus. Seorang pegawai pajak biasa, namun berkat kebersamaan sehingga mampu melakukan tindak kejahatan korupsi pajak hingga ratusan miliar. Sudah dapat dipastikan, bahwa Gayus juga merupakan produk dari sebuah kebersamaan, dalam artian bekerjasama dengan pihak petinggi. Hal tersebut dapat dibenarkan, dengan sikap Gayus yang bersedia membantu KPK dalam membongkar kasus korupsi, yang dirinya terlibat di dalamnya.

Berbagai musibah juga telah mendatangkan kebersamaan dalam penderitaan, karena kebersamaan itu dinilai terlalu banyak, sehingga peme-rintah tak mampu menangani para korban musibah dengan baik. Akibatnya, hingga saat ini masih banyak yang belum jelas nasibnya, mulai dari korban lumpur Lapindo, gunung Merapi, banjir bandan dan angin puting beliung. Keterlantaran masalah rakyat, apakah benar dikarenakan kurangnya anggaran pemerintah untuk menopang perbaikan kondisi masyarakat yang menjadi korban bencana alam?

Jika dikatakan kurang keuangan negara, tetapi ratusan milyar rupiah dialihkan guna merenovasi rumah anggota dewan, yang sesungguhnya sudah sangat layak bagi mereka yang menyetakan diri sebagai pelayan masyarakat. Namun, pada praktiknya, mereka bersama-sama mengalihkan dana yang sebenarnya jauh lebih bermanfaat bagi rakyat ketimbang untuk merenovasi rumah dinas mereka. Hal ini juga karena adanya kebersamaan, maka tuntutan mernovasi bisa terpenuhi.

Sementara rakyat semakin menderita dengan segala ancaman bencana alam, termasuk turunny lahar dingin dari Merapi yang masih terus berlanjut. Rakyat sudah tidak tahu lagi harus mohon bantuan dari pihak mana lagi, karena dari pihak pemerintah masih jauh dari kebutuhan. Namun, berita yang memekakan telingan rakyat yang sedang menderita menghiasi lembaran media massa. Seakan jeritan rakyat sudah tak terdengar.

Pasalnya, Presiden SBY bersama dengan sekitar 8 ribu pejabat pemerintah akan dinaikkan gajinya, karena apa yang diterima selama ini dinilai kurang memadai. Lagi-lagi kalimat “bersama kita bisa” berlaku juga untuk menuntut kenaikan gaji dan tunjangan, bagi para mereka yang senantiasa menguman-dangkan lagu kesejahteraan bagi rakyat dan kemajuan bangsa.
Itulah perjalanan Indonesia Merdeka, yang oleh para pejuang kemerdekaan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat dalam keadilan dan kemamuran. Kemerdekaan baru dapat dirasakan oleh segolongan anak bangsa, namun golongan yang lebih besar belum mampu menikmati makna sebuah kemerdekaan, makna hidup yang hakiki dai alam negara yang merdeka.

Masih sangat banyak rakyat yang merdeka menerima segala perlakuan, mulai diskriminasi terhadap pelayanan sesama umat beragama, penekanan dari pihak yang menamakan diri mayoritas, keterbatasan bersuara dan lainnya. Hal ini, membuktikan, bahwa hingga saat ini landasan idiil dan falsafah negara belum dapat difungsikan secara baik dan benar. Masih sangat banyak istilah kemerdekaan yang belum dapat dinikmati oleh anak bangsa, di dalam negara yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. (Arw)